Sri Sultan Ungkap Makna Dwi Tunggal hingga Demokrasi Ajaran Pangeran Mangkubumi

- 11 Februari 2024, 22:47 WIB
Berbagai ajaran dan filosofi hidup yang ditanamkan oleh Pangeran Mangkubumi pada zaman dahulu, telah teruji tetap relevan hingga saat ini.
Berbagai ajaran dan filosofi hidup yang ditanamkan oleh Pangeran Mangkubumi pada zaman dahulu, telah teruji tetap relevan hingga saat ini. /purwoko/yogyaline.com/jogjaprov

Hamengku Nagara karena diperlukan negara dan pemerintahan yang mengatur manusia. Hamangku Bumi karena bumi sebagai lingkungan alam adalah sumber penghidupan sehingga wajib dijaga kelestariannya.

Hamengku Buwana sendiri merupakan kewajiban manusia yang lebih luas, dalam mengakui, menjaga dan memelihara seluruh isi alam semesta, agar tetap memberikan kekuatan bagi kehidupan manusia.

Baca Juga: Sri Sultan HB X Sampaikan Pesan Pemilu 2024 Berbudaya, Jangan Ada Intimidasi - Provokasi

“Makna yang tersandang dalam Hamengku, Hamangku dan Hamengkoni itu, adalah tugas dan kewajiban mulia manusia, untuk mengagungkan asma Allah, seiring menjadikan perbuatan baik kepada sesama, dan alam lingkungannya, sebagai bukti bahwa ia benar-benar hidup,” papar Sri Sultan.

Sementara ajaran Manunggaling Kawula-Gusti, menurut Sri Sultan, hadir karena demokrasi. Demokrasi tidak datang, tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Diperlukan ikhtiar dari warga negara dan perangkat pendukungnya, untuk menjadikan demokrasi sebagai sejatinya pandangan hidup dalam kehidupan bernegara.

Manunggaling Kawulâ-Gusti berarti bahwa manusia secara sadar harus mengedepankan niat baik secara tulus ikhlas. Dalam hal kepemimpinan, Manunggaling Kawulâ-Gusti adalah mampu memahami dan sadar kapan menjadi memimpin dan kapan dipimpin.

Ketika memimpin, harus mementingkan kepentingan yang dipimpin, sedang pada saat dipimpin mengikuti kepemimpinan sang pemimpin.

Dalam konteks keyogyaan, pengertian gusti lebih menekankan pada makna institusi kepemimpinan, dan bukannya figur atau pribadi tunggal seorang Sultan. Dalam pengertian tersebut, telah diajarkan satu sistem demokrasi modern, suatu lembaga kepemimpinan yang terbuka untuk diakses oleh masyarakat.

“Dari Yogyakarta, Tahta Untuk Rakyat, yang menjadi komitmen Sri Sultan Hamengku Buwono IX, adalah contoh nyata kepemimpinan Manunggaling Kawulâ-Gusti, yang dijiwai filosofi Hamêmayu-Hayuning Bawânâ, dengan etos kerja Sawiji, Grêgêt, Sêngguh, Ora-Mingkuh, secara substansial memiliki sifat empati kepada kawulâ atau masyarakat,” jelas Sri Sultan.

Saat ini, strategi kebudayaan diperlukan untuk membangun Indonesia. Pembangunan sendiri adalah proses budaya, dengan tujuan memanusiakan manusia. Perlu disusun strategi kebudayaan yang setepat-tepatnya, dengan persepsi budaya yang komprehensif, yang memiliki cakupan luas terhadap seluruh aspek perikehidupan berbangsa dan bernegara.

Halaman:

Editor: A. Purwoko


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah