Sri Sultan Ungkap Makna Dwi Tunggal hingga Demokrasi Ajaran Pangeran Mangkubumi

11 Februari 2024, 22:47 WIB
Berbagai ajaran dan filosofi hidup yang ditanamkan oleh Pangeran Mangkubumi pada zaman dahulu, telah teruji tetap relevan hingga saat ini. /purwoko/yogyaline.com/jogjaprov

YOGYALINE - Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menyampaikan pidato kebudayaan Gagas RI episode ke-7 di Bentara Budaya Jakarta, Selasa 6 Februari 2024. Dalam pidato Gagas RI ini Sri Sultan mengangkat tema "Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat".

Acara dipandu Pemikir Kebhinekaan, Sukidi dan bertindak sebagai penanggap, Akademisi UGM Arie Sudjito dan Budayawan sekaligus penulis, Muhamad Sobary.

Dwitunggal Hamemayu Hayuning Bawana dan Manunggaling Kawula Gusti menjadi pedoman mewujudkan tataran Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat. Dwitunggal ini adalah pedoman yang bisa diterapkan untuk mewujudkan Indonesia yang makmur sejahtera, berdaulat, dan harum semerbak namanya.  

Baca Juga: Sri Sultan Tekankan Etika dan Adab Pemilu 2024, Butet Tulis Lirik Lagu 'Polisi Jagoanku'

Berbagai ajaran dan filosofi hidup yang ditanamkan oleh Pangeran Mangkubumi pada zaman dahulu, telah teruji tetap relevan hingga saat ini. Banyak nilai yang saat ini terus menjadi navigasi tata kelola Kraton Yogyakarta, juga birokrasi Pemda DIY.

Fondasi budaya Mataram dari tangan Pangeran Mangkubumi, menginspirasi hingga generasi saat ini.

Sri Sultan menyebut, ada dua makna Dwitunggal Hamemayu Hayuning Bawana dan Manunggaling Kawula Gusti, adalah refleksi dalam menghadapi tantangan pembangunan dan demokrasi saat ini.

“Prinsip-prinsip ini terbentuk dari kebijakan luhur dan pandangan hidup yang universal. Membawa kita pada pemahaman bahwa kepemimpinan yang berwibawa tidak hanya memegang kekuasaan, tetapi juga keseimbangan dan harmoni manusia dengan alam, serta menyatukan pemimpin dan rakyat, dalam satu visi dan misi yang sama,” jelas Sri Sultan.

Dwitunggal ajaran Pangeran Mangkubumi ini adalah refleksi dalam menghadapi tantangan pembangunan dan demokrasi saat ini. Hamemayu Hayuning Bawana menyandang tiga substansi yaitu Hamengku Nagara, Hamangku Bumi, dan Hamengku Buwana

Hamengku Nagara karena diperlukan negara dan pemerintahan yang mengatur manusia. Hamangku Bumi karena bumi sebagai lingkungan alam adalah sumber penghidupan sehingga wajib dijaga kelestariannya.

Hamengku Buwana sendiri merupakan kewajiban manusia yang lebih luas, dalam mengakui, menjaga dan memelihara seluruh isi alam semesta, agar tetap memberikan kekuatan bagi kehidupan manusia.

Baca Juga: Sri Sultan HB X Sampaikan Pesan Pemilu 2024 Berbudaya, Jangan Ada Intimidasi - Provokasi

“Makna yang tersandang dalam Hamengku, Hamangku dan Hamengkoni itu, adalah tugas dan kewajiban mulia manusia, untuk mengagungkan asma Allah, seiring menjadikan perbuatan baik kepada sesama, dan alam lingkungannya, sebagai bukti bahwa ia benar-benar hidup,” papar Sri Sultan.

Sementara ajaran Manunggaling Kawula-Gusti, menurut Sri Sultan, hadir karena demokrasi. Demokrasi tidak datang, tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Diperlukan ikhtiar dari warga negara dan perangkat pendukungnya, untuk menjadikan demokrasi sebagai sejatinya pandangan hidup dalam kehidupan bernegara.

Manunggaling Kawulâ-Gusti berarti bahwa manusia secara sadar harus mengedepankan niat baik secara tulus ikhlas. Dalam hal kepemimpinan, Manunggaling Kawulâ-Gusti adalah mampu memahami dan sadar kapan menjadi memimpin dan kapan dipimpin.

Ketika memimpin, harus mementingkan kepentingan yang dipimpin, sedang pada saat dipimpin mengikuti kepemimpinan sang pemimpin.

Dalam konteks keyogyaan, pengertian gusti lebih menekankan pada makna institusi kepemimpinan, dan bukannya figur atau pribadi tunggal seorang Sultan. Dalam pengertian tersebut, telah diajarkan satu sistem demokrasi modern, suatu lembaga kepemimpinan yang terbuka untuk diakses oleh masyarakat.

“Dari Yogyakarta, Tahta Untuk Rakyat, yang menjadi komitmen Sri Sultan Hamengku Buwono IX, adalah contoh nyata kepemimpinan Manunggaling Kawulâ-Gusti, yang dijiwai filosofi Hamêmayu-Hayuning Bawânâ, dengan etos kerja Sawiji, Grêgêt, Sêngguh, Ora-Mingkuh, secara substansial memiliki sifat empati kepada kawulâ atau masyarakat,” jelas Sri Sultan.

Saat ini, strategi kebudayaan diperlukan untuk membangun Indonesia. Pembangunan sendiri adalah proses budaya, dengan tujuan memanusiakan manusia. Perlu disusun strategi kebudayaan yang setepat-tepatnya, dengan persepsi budaya yang komprehensif, yang memiliki cakupan luas terhadap seluruh aspek perikehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca Juga: Dua Buku Aspirasi 80 Tahun Sri Sultan HB X Diluncurkan, Memotret Sikap Humanisme - Legalitas dan Demokrasi

Strategi kebudayaan mengandung dua aspek penting. Pertama, strategi pengelolaan cara bangsa dan warga bereaksi, berpikir dan bekerja dalam menumbuhkan proses berbangsa.

Kedua, menunjuk pada strategi menumbuhkan nilai keutamaan berbangsa yang menjadi dasar dari cara bertindak, berpikir dan bereaksi tersebut.

Contohnya adalah nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, profesionalisme, etika, respek, rasa malu, kerja keras, toleransi, cinta tanah air dan lain sebagainya.

“Strategi kebudayaan adalah panduan nilai berbangsa, daya kerja, dan metoda pemecahan masalah, dengan skala prioritas yang memerlukan kepekaan para pemimpinnya,” kata Sri Sultan.

Misi humanisasi ini dapat tercapai apabila para pemimpin dan rakyat sudah meresapi makna Tri Satya Brata. Hal ini dapat diindikasikan dari nilai rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa. Bahwa harmoni demokrasi terjadi secara alamiah, dengan tidak terkotak-kotaknya masyarakat, hanya karena berbeda calon dan aspirasi.

Pun  dengan aparat pemerintah dalam konteks pemilihan serentak. Mengedepankan netralitas dan kesahajaan dalam menyikapi hak politik menjadi salah satu yang utama. Profesional, bekerja melayani masyarakat tanpa terganggu oleh hingar-bingar pesta demokrasi.

Sri Sultan menekankan sikap lapangan dada, samadya, dan among rasa pada tiap pesta demokrasi, termasuk pada Pemilu nanti.

Pemilihan serentak lebih dari sekadar olah-politik, olah-budaya untuk meningkatkan mutu budaya-demokrasi. Hal ini agar demokrasi tumbuh subur dan kuat mengakar menjadi budaya rakyat.

Baca Juga: Sri Sultan Singgung Kondusivitas DIY Syarat Menuju Pancamulia, Pemilu 2024 Harus Jurdil dan Damai

“Suasana nyaman dan aman mestinya dibangun, layaknya suasana sebuah peradaban Indonesia yang berbudaya dan berkeadaban. Mewujudkan pemilihan serentak yang berbudaya, mengendalikan konflik sosial, menghindari politik SARA dan uang".

"Inilah cerminan rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane, diiringi landasan moral Manunggaling Kawula Gusti oleh segenap pemimpin dalam berbagai tingkatan pemerintahan, maupun suri-tauladan yang ada di masyarakat,” ungkap Sri Sultan.***

Editor: A. Purwoko

Tags

Terkini

Terpopuler