Pakar UGM Bicara Bahaya Politik Dinasti - Erosi Demokrasi: Prosesnya yang Jadi Soal, Sehatkah di Indonesia?

- 31 Oktober 2023, 09:43 WIB
IlustrasiJelang Pemilu 2024
IlustrasiJelang Pemilu 2024 /prmn

YOGYALINE - Topik politik dinasti menjadi fenomena yang mendapat sorotan tajam jelang pelaksanaan Pemilu 2024 saat ini. Hal itu berangkat dari majunya Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan anak Presiden Jokowi.

Masyarakat kemudian gegap gempita bereaksi, memberikan narasi-narasi yang semakin kompleks ketika menyangkut rekam jejak, kapasitas, hingga proses majunya Gibran menjadi cawapres.

Tentang Bahaya Politik Dinasti dan Erosi Demokrasi juga menjadi topik menarik yang diangkat dalam kegiatan Pojok Bulaksumur bersama dua pakar politik UGM, yakni Dr Abdul Gaffar Karim, M.A yang merupakan dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, dan Dr Riza Noer Arfani, M.A, dosen Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM, pada Jumat 27 Oktober 2023.

Baca Juga: Alumni Akabri 90 Gelar Baksos Serentak, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Ingatkan Hal Ini Jelang Pemilu 2024

Pada diskusi santai dengan wartawan berbagai media lokal dan nasional ini, kedua pakar UGM menyampaikan analisa dan pandangannya mengenai situasi mutakhir perkembangan politik jelang Pemilu 2024 di Indonesia.

Mulai dari potensi rivalitas politik pasangan capres-cawapres hingga kemungkinan pemilu dua putaran, signifikansi peran pimpinan partai politik, hingga soal ramainya bahasan politik dinasti yang kini semakin mengemuka.

Menyangkut fenomena politik dinasti, Dr Abdul Gaffar Karim, M.A mengungkapkan bahwa politik dinasti bukan sesuatu yang baru. Bahkan sebenarnya politik dinasti dapat ditemui di banyak negara selama ini.

Dalam pengertian ini politik dinasti terjadi ketika kesempatan dan pengalaman langsung dalam politik dinikmati oleh keturunan dari mereka yang telah berkecimpung di dunia politik sebelumnya.

Meski hal ini merupakan sebuah privilege, menurutnya isu yang perlu menjadi perhatian lebih yakni terletak pada bagaimana proses menuju kandidasi berlangsung. Proses yang tidak alami dan menabrak fatsun-fatsun politik dipastikan mengusik perhatian publik. 

“Persoalannya bukan politik dinasti, tapi bagaimana politik dinasti dimungkinkan untuk berlangsung. Di negara maju, fenomena politik dinasti bisa berjalan tanpa ada rekayasa. Di Indonesia ini agak kurang sehat,” ungkap Abdul Gaffar Karim. 

Isu politik dinasti dan berbagai isu lainnya, diakui Abdul Gaffar Karim membuat sorotan publik terhadap negara cukup kuat.

Baca Juga: Begini Maksud Operasi Nusantara Cooling System Polri Jelang Pemilu 2024, Simak Sasarannya

Bagaimana kekuatan potensi masalah itu dikatikan dengan konflik pemilu? Abdul Gaffar Karim melihat bahwa potensi konflik vertikal antara negara dengan masyarakat masih relatif kecil, terutama jika melihat gejala yang terjadi beberapa tahun belakangan. 

Minimnya konflik memang menjadi sesuatu yang perlu disyukuri. Namun alasan di balik itu semua menurut Gaffar cukup membuat keprihatinan, yaitu karena masyarakat tidak terkonsolidasi dengan baik.

“Negara sangat  terkonsolidasi, sementara masyarakat tidak terkonsolidasi. Ada konflik kecil di ranah elite tetapi mereka selalu cepat menemukan cara untuk rekonsiliasi dan dengan cepat menegosiasi,” ucapnya. 

Hal ini dimungkinkan tidak sama dengan yang terjadi di tengah masyarakat, dimana polarisasi relatif lebih sulit dan perlu waktu.

Berkaca pada fenomena yang terjadi di berbagai negara di dunia, ia pun mengingatkan akan bahaya erosi demokrasi, jika gerakan masyarakat tidak terlihat. Hal itu menunjukkan tidak ada oposisi yang cukup kuat sehingga fenomena politik dinasti yang dimungkinkan tidak sehat seakan menjadi sesuatu yang biasa.

Hal ini, menurutnya perlu menjadi perhatian dan diskusi penting di balik hingar-bingarnya masa jelang Pemilu 2024. 

Peran Media Digital

Diketahui pada 14 Februari 2024 mendatang, lebih dari 200 juta pemilih di dalam negeri beserta diaspora Indonesia di seluruh dunia akan melaksanakan pemilu, baik pileg maupun pilpres.

Berbagai manuver para elite politik dan rentetan yang melatar belakanginya kini mengemuka dalam bahasan di masyarakat maupun sasaran empuk sorotan media.

Seiring hal itu bergulir, tensi politik di masyarakat juga kian menghangat, sehingga berbagai upaya menciptakan situasi kondusif juga banyak menjadi perhatian.

 Terkait potensi polarisasi itu, Dr Riza Noer Arfani, M.A, dosen Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM mengungkapkan, meski suasana politik mulai memanas, polarisasi kemungkinan besar tidak akan sedahsyat pada dua pemilu sebelumnya. Potensi konflik horizontal maupun vertikal pun relatif kecil.

“Kemungkinan polarisasi yang ekstrem hampir tidak ada. Apalagi pada pemilu legislatif, relatif tidak menghasilkan konflik di level grassroot,” terang Dr. Riza Noer Arfani, M.A.

Potensi konflik yang lebih kecil juga mencakup ranah rivalitas di media digital. Ini berbeda dengan sebelumnya. Kini euforia masyarakat terhadap digitalisasi menurutnya sudah cukup stabil.

Baca Juga: Sosiolog UGM Dr Arie Sudjito Menilai Jelang Pemilu 2024 Depolitisasi Kian Menguat, Begini Repotnya

Seiring dengan semakin meningkatnya literasi terhadap teknologi dan media digital, masyarakat menurutnya sudah lebih bisa memilah informasi yang mereka peroleh melalui media.

“Orang sudah tidak dengan mudah percaya dan mengandalkan media termasuk media sosial, sehingga potensinya lebih kecil,” kata Riza.

Pandangan tentang atmosfer rivalitas pemilu yang lebih landai juga disepakati oleh Dr Abdul Gaffar Karim, M.A, dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM.

Pada pemilu tahun 2014 dan 2019, pertarungan dukungan dan polarisasi telah mulai memanas jauh hari sebelum pemilu berlangsung. Beda dengan saat ini bahwa manuver-manuver terjadi hingga mendekati hari-hari pendaftaran kandidat dalam pilpres.

“Sekarang tidak seperti itu, jadi mungkin akan lebih landai dibandingkan tahun 2014,” ungkapnya.***

Editor: A. Purwoko


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x